Jasa Layout

MAKALAH KRITIK SASTRA “NOVEL NAGABUMI I KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA DITINJAU DARI SOSIOLOGI SASTRA”


MAKALAH KRITIK SASTRA
“NOVEL NAGABUMI I KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA DITINJAU DARI SOSIOLOGI SASTRA”

NOVEL NAGABUMI I KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA DITINJAU DARI SOSIOLOGI SASTRA

Makalah ini disusun oleh :
Natalia Sulistyanti Harsanti. S,Pd.

Makalah ini telah diujikan dalam seminar Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tanggal 20 September 2015

1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap orang pasti akan menemui suatu permasalahan. Permasalahan yang muncul dapat berupa masalah sosial, politik, ekonomi, moral, agama, budaya dan permasalahan lainnya. Timbulnya berbagai permasalahan ini dapat disebabkan karena adanya ketimpangan dan ketidaksesuaian tatanan nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Korrie Layun Rampan (dalam Tri Santoso, 2011) menyatakan bahwa karya sastar dapat dipandang sebagai gambaran sosial masyarakat pada kurun waktu tertentu yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial pada zaman itu karena adanya konflik yang mendukungnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat berperan sebagai perekam peristiwa pada waktu tertentu. Sastra yang baik adalah sastra yang mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.

Suatu karya sastra dapat dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra. Nyoman Kutha Ratna (2002) menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah analisis terhadap unsur-unsur karya seni sebagai bagian integral unsur-unsur sosiokultural. Sosiologi sastra memandang karya sastar sebagai hasil interaksi pengarang dengan masyarakat, sebagai kesadaran kolektif, sedangkan psikologi sastra memandang sastra sebagai rekaman keistimewaan individu, sebagai kesadaran personal. Tujuan dari sosiologis sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, dan menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan.

Permasalahan sosial yang terjadi dalam novel Nagabumi I yang ditampilkan oleh Seno Gumira Ajidarma merupakan keadaan masyarakat di pulau Jawa pada abad VIII – IX. Pada masa itu, agama digunakan sebagai alasan untuk mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya untuk mencapai kekuasaan. Selain itu, adanya persaingan kekuasaan, juga memaksa para pelaku politik untuk menggunakan agama sebagai alat untuk memecahbelah. Sementara, masyarakat yang tidak tahu apa-apa merasa terombang-ambing dan harus mengorbankan apapun demi kepentingan rajanya. Namun, pada kenyataannya para pemimpin negara pun lebih sering menjadi korban perebutan kekuasaan yang mengatasnamakan agama.

Peneliti memilih novel Nagabumi I karya Seno Gumira Ajidarma sebagai objek untuk diteliti dengan menggunakan kajian sosiologi sastra karena novel ini berhubungan erat dengan keadaan sosial pada masa ini. Meskipun latar waktu yang ditampilkan dalam novel itu pada abad VIII-IX.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalahnya, yaitu: 
(1) Bagaimanakah hubungan novel Nagabumi I dengan latar sosial pengarangnya? 
(2) Bagaimanakah gambaran sosial masyarakat yang tercermin dalam novel Nagabumi I?

2. LANDASAN TEORI

A. Landasan Teori

Peneliti menemukan dua penelitian sejenis yang terkait dengan topik penelitian ini. Kedua penelitian ini dilakukan oleh Roberta Fitri Haryani (2004) dan  Tri Santoso (2011). Roberta Fitri Haryani (2004) meneliti novel Jalan Menikung karya Umar Kayam ditinjau dari kajian sosiologis. Hasil dari penelitian tersebut yaitu sistem nilai budaya Jawa yang digunakan dalam novel Jalan Menikung meliputi sistem religi, sistem pergaulan, sistem kekerabatan. Sistem religi meliputi sebagian besar masyarakat Jawa merupakan pemeluk agama Islam Kejawen. Mereka mempercayai Tuhan Allah berpengaruh pada kehidupan manusia. Selain itu, selamatan merupakan salah satu tindakan masyarakat Jawa untuk mencari perlindungan dari roh jahat.

Sistem pergaulan meliputi memperlakukan atasan sebagai orang yang dihormati, anak harus berlaku hormat terhadap orang tua, adanya kebiasaan untuk bersikap rukun dan mengalah untuk menghindari konflik, dan sangat menjaga hubungan keluarga. Sedangkan, sistem kekerabatan meliputi keluarga besar yang terikat dalam suatu hubungan darah disebut trah, tetap menghormati orang tua yang telah meninggal, menyelesaikan masalah dalam keluarga dengan gotong royong.

Tri Santoso (2011) meneliti novel Jalan Bandungan karya Nh. Dini ditinjau dari kajian sosiologis sastra. Hasil dari penelitian tersebut adalah (1) biografi pengarang mempunyai pengaruh yang besar dalam karya-karyanya, (2) novel Jalan Bandungan mengungkapkan keadaan sosial masyarakat di lingkungan priyayi yang ditunjukkan oleh Nh. Dini melalui tokoh Muryati dan keluarganya, (3) novel Jalan Bandungan digunakan pengarang untuk menyampaikan nilai-nilai moral dan religi bagi pembaca. Selain itu gambaran sosial yang tercermin dalam novel Jalan Bandungan yaitu (a) masyarakat masih menerapkan adat istiadat, (b) masyarakat tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam pendidikan, (c) masyarakat memperlakukan perempuan hanya sebagai pengurus rumah tangga, (d) masyarakat belum tersentuh modernisasi.

Perbedaan kedua penelitian di atas dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yaitu (1) peneliti membahas mengenai hubungan novel Nagabumi I dengan latar sosial dari Seno Gumira Ajidarma. Maksud dari latar sosial di sini adalah bagaimana pengalaman-pengalaman dan pandangan-pandangan penulis terkadang ikut mempengaruhi hasil karyanya. (2) Gambaran sosial masyarakat yang tercermin dalam novel Nagabumi I. Dalam hal ini berarti bagaimana keadaan sosial masyarakat pada masa itu, baik dari segi agama, politik, maupun kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. 

B. Landasan Teori

1.Sosiologi sastra

Wiyatmi (2006: 97) mengatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial). Untuk dapat menerapkan pendekatan ini, di samping harus menguasai ilmu sastra, kita juga harus menguasai konsep-konsep (ilmu) sosiologi dan data-data kemasyarakatan yang biasanya ditelaah oleh sosiologi.

Atar Semi (1989: 46) mengatakan bahwa pendekatan sosiologis sastra bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui sastra, pengarang mengungkapkan tentang suka duka kehidupan masyarakat yang mereka ketahui dengan sejelas-jelasnya. Bertolak dari pandangan itu telaah atau kritik sastra yang dilakukan terfokus atau lebih banyak memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam suatu karya sastra serta mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan dan pengembangan tata kehidupan.
Dengan menggunakan pendekatan sosiologis sastra, orang dapat menunjukkan sebab-sebab dan latar belakang kelahiran sebuah karya sastra. Bahkan, mungkin dapat membuat kritikus agar terhindar dari kekeliruan tentang hakikat karya sastra yang ditelaah, terutama dalam menentukan fungsi suatu karya sastra dan mengetahui beberapa aspek sosial lain yang harus diketahui sebelum penelaahan dilakukan.

Andre Hardjana (1985: 71) menyatakan bahwa asumsi yang harus dipegang sebagai pangkal tolak kritik sastra aliran sosiologi adalah bahwa karya sastra tidaklah lahir dari kekosongan. Kecenderungan untuk menafsirkan karya sastra sebagai sumber informasi tata kemasyarakatan, sejarah sosial, latar belakang biografi pengarangnya, ajaran dan etika sosial menunjukkan dengan jelas bahwa karya sastra lahir dalam jaringan kemasyarakatan dan bukan dari suatu kekosongan atau vakum sosial. Karya sastra lahir dari persoalan-persoalan sosial, menghidangkan persoalan-persoalan sosial senyata mungkin, dan menggarapnya sejujur mungkin sejauh masih dalam jangkauan daya khayalan pengarang. Pembahasan terhadap hubungan antara karya sastra dengan persoalan kemasyarakatan cenderung menunjukkan adanya pola sebab-akibat atau paling tidak pola yang salin mempengaruhi.

2.Pendekatan-pendekatan dalam sosiologi sastra

Ian Watt (dalam Damono, 1979: 3-4) membicarakan tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, latar sosial sastrawan, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra dibahas sebagai berikut:

a.Latar sosial sastrawan

Latar sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam hal ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan, selain mempengaruhi isi karya sastranya. Oleh karena itu, hal-hal yang utama untuk diteliti adalah:

• Bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya,  apakah ia menerima bantuan dari pengayom, dari masyarakat secara langsung, atau dari bekerja rangkap.

• Profesionalisme dalam kepengarangan, yaitu sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai profesi.

• Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. Dalam hal ini, hubungan antara pengarang dan masyarakat sangat penting, karena seringkali jenis masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi suatu karya sastra.

b.Sastra sebagai Cermin Masyarakat

Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sampai sejauh mana sastra dianggap  mencerminkan keadaan suatu masyarakat. Dalam hal ini yang harus mendapat perhatian utama adalah:

•Sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, karena banyak ciri-ciri masyarakat yang sudah tidak berlaku lagi pada waktu ditulis.

•Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.

•Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok masyarakat tertentu dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat.

•Sastra yang berusaha untuk menampilakan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, karya yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat digunakan sevagai bahan untuk mengetahui keadaan suatu masyarakat. Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra sebagai cermin suatu masyarakat.

c.Fungsi Sosial Sastra

Pendekatan sosiologi sastra berusaha menjawab pertanyaan, seperti “Sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial?” dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?”. Dalam kaitannya dengan hal ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:

Sudut pandang ekstrim kaum Romantik, yang menganggap karya sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini tampak bahwa karya sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.

Sudut pandang lain mengatakan bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini, gagasan “seni untuk seni” tidak ada bedanya dengan praktek melariskan dagangan untuk mencapai best seller.

Sudut pandang lainnya yaitu semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam sebuah slogan klasik bahwa sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.

Berdasarkan klasifikasi di atas, dapat disimpulkan bahwa permasalahan sosiologi sastra hanya berkisar masalah pengarang, sastra dan masyarakat. Sosiologi sastra berusaha mencari timbal balik di antara ketiga unsur tersebut.

Wellek dan Warren (dalam Heru, 2012 : 11) mengemukakan tiga paradigma pendekatan dalam sosiologi sastra. Pertama, sosiologi pengarang; inti dari analisis sosiologi pengarang ini adalah memaknai pengarang sebagai bagian dari masyarakat yang telah menciptakan karya sastra. Oleh karena itu, pemahaman terhadap pengarangnya menjadi kunci utama dalam memahami relasi sosial karya sastra dengan masyarakat, tempat pengarang bermasyarakat. Kedua, sosiologi karya sastra; analisis sosiologi yang kedua ini berangkat dari karya sastra. Artinya, analisis terhadap aspek sosial alam karya sastra dilakukan dalam rangka untuk memahami dan memaknai hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya. Ketiga, sosiologi pembaca; kajian pada sosiologi pembaca ini mengarah pada dua hal, yaitu kajian pada sosiologi terhadap pembaca yang memaknai karya sastra dan kajian pada pengaruh sosial yang diciptakan karya sastra. Kajian terhadap sosiologi pembaca berarti mengkaji aspek nilai sosial yang mendasari pembaca dalam memaknai karya sastra.

Dalam perkembangan selanjutnya pendekatan sosiologi sastra memiliki berbagai jenis yang masing-masing memiliki kerangka dan metode sendiri. Dalam hal ini Junus (dalam Wiyatmi, 2006: 101) membedakan sejumlah pendekatan sosiologi sastra ke dalam beberapa macam, yaitu (a) sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra sebagai dokumen sosial budaya, (b) sosiologi sastra yang mengkaji penghasilan dan pemasaran karya sastra, (c) sosiologi sastra yang mengkaji penerimaan masyarakat terhadap karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya, (d) sosiologi sastra yang mengkaji pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, (e) sosiologi sastra yang mengkaji mekanisme universal seni, termasuk karya sastra, dan (f) strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann dari Perancis.

3. ANALISIS


A. Hubungan Novel Nagabumi I dengan Latar Sosial Pengarangnya


Sastrawan yang satu ini sosok pembangkang. Ayahnya Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. Tapi, lain ayah, lain pula si anak. Seno Gumira Ajidarma bertolak belakang dengan pemikiran sang ayah. Walau nilai untuk pelajaran ilmu pasti tidak terlalu, ia tak suka aljabar, ilmu ukur, dan berhitung. “Entah mengapa? Ilmu pasti itu kan harus pasti semua dan itu tidak menyenangkan,” ujar Seno. Dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, Seno gemar membangkang terhadap peraturan sekolah, sampai-sampai ia dicap sebagai penyebab setiap kasus yang terjadi di sekolahnya. Waktu sekolah dasar, ia mengajak teman-temannya tidak ikut kelas wajib kor, sampai ia dipanggil guru. Waktu SMP, ia memberontak tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, yang lain pakai baju putih ia pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong. “Aku pernah diskors karena membolos,” tutur Seno.

Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, Seno tidak mau sekolah. Terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Seperti di film-film ceritanya seru, menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu mocasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya. Selama tiga bulan, ia mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang gelarnya profesor doktor. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia meminta uang kepada ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, Seno pulang dan meneruskan sekolah.

Ketika SMA, ia sengaja memilih SMA yang boleh tidak pakai seragam. Komunitas yang dipilih sesuai dengan jiwanya. Bukan teman-teman di lingkungan elite perumahan dosen Bulaksumur (UGM), rumah orangtuanya. Tapi, komunitas anak-anak jalanan yang suka tawuran dan ngebut di Malioboro. “Aku suka itu karena liar, bebas, tidak ada aturan.”

Walau tak mengerti tentang drama, dua tahun Seno ikut teater Alam pimpinan Azwar A.N. “Lalu aku melihat Rendra yang gondrong, kerap tidak pakai baju, tapi istrinya cantik (Sitoresmi). Itu seperti dunia yang menyenangkan,” kata Seno.

Tertarik puisi-puisi “mbeling-nya” Remy Sylado di majalah Aktuil Bandung, Seno pun mengirimkan puisi-puisinya dan dimuat. Honornya besar. Semua menghina Seno sebagai penyair kontemporer. Tapi ia tidak peduli. Seno tertantang untuk mengirim puisinya ke majalah sastra Horison. Tembus juga. “Umurku baru 17 tahun, puisiku sudah masuk Horison. Sejak itu aku merasa sudah menjadi penyair,” kata Seno bangga. Kemudian Seno menulis cerpen dan esai tentang teater.

Menjadi seorang wartawan, awalnya karena menikah muda pada usia 19 tahun dan untuk itu ia butuh uang. Tahun itu juga Seno masuk Institut Kesenian Jakarta, jurusan sinematografi. “Nah, dari situ aku mulai belajar memotret,” ujar pengagum pengarang R.A. Kosasih ini.

Kalau sekarang ia jadi sastrawan, sebetulnya bukan itu mulanya. Tapi mau jadi seniman. Seniman yang dia lihat tadinya bukan karya, tetapi Rendra yang santai, bisa bicara, hura-hura, nyentrik, rambut boleh gondrong. “Tapi, kemudian karena seniman itu harus punya karya maka aku buat karya,” ujar Seno disusul tawa terkekeh.

Sampai saat ini Seno telah menghasilkan puluhan cerpen yang dimuat di beberapa media massa. Cerpennya Pelajaran Mengarang terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerpennya, antara lain: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999). Karya lain berupa novel Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Pada tahun 1987, Seno mendapat Sea Write Award. Berkat cerpennya Saksi Mata, Seno memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997.

Kesibukan Seno sekarang adalah membaca, menulis, memotret, jalan-jalan, selain bekerja di Pusat Dokumentasi Jakarta-Jakarta. Kini ia juga membuat komik. Baru saja ia membuat teater. (Sumber: Kompas, 19 Agustus 2005)

Karya-karya sastra Seno Gumiro Ajidarma kebanyakan berwarna politik. Seno dianggap mampu membuktikan bahwa sastra jadi bernilai sastra dengan mengaduk kutipan dan bentuk dari berbagai subkultur, termasuk budaya. Selain itu, Seno Gumira Ajidarma tidak memungkiri bahwa dia menyembunyikan fakta dalam karyanya karena situasi politik Indonesia sekarang lebih kacau. "Ada kalanya dunia politik menyentuh kita, sehingga saya atau kita harus bersikap. Saya tidak bisa terus-menerus di menara gading. Ada keputusan saya harus turun (dari menara gading). Ada titik tertentu tidak bisa menghindar lagi (dari politik), sehingga (aktivitas melalui) tulisan saja, tidak cukup." kata Seno.

Gaya penulisan Seno Gumira Ajidarma banyak dipengaruhi oleh beberapa penulis lain. Seperti, penulis asal Amerika Serikat, Ernest Hemingway, yang tulisan-tulisannya bersifat “deskriptif dan penuh ironi”. Karya-karya penulis klasik Jepang yang detail dan penuh ironi pun juga terkadang mempengaruhi gaya penulisannya. Selain itu, penulis-penulis Indonesia pun ada yang mewarnai gaya penulisannya, seperti Umar Kayam, Budi Darma, atau Hamsad Rangkuti. Untuk gaya penulisan yang irasional, Seno terpengaruh oleh Danarto atau jika kesulitan untuk memulai tulisan, Seno biasanya membaca tulisan Putu Wijaya.

B.Gambaran Sosial Masyarakat yang Tercermin dalam Novel Nagabumi I


Novel Nagabumi I menggambarkan kehidupan masyarakat di pulau Jawa sekitar abad VIII – IX. Dalam novel tersebut digambarkan mengenai kehidupan sosial, kehidupan agama dan kehidupan politik pada masa itu. Dalam kehidupan sosial digambarkan bahwa masyarakat dibagi menjadi beberapa kasta, yaitu kasta brahmana, kasta ksatria, kasta waisya, kasta sudra, kasta paria, dan kasta candala. Kasta brahmana bertugas mengurus soal kehidupan keagamaan yang terdiri dari pendeta. Kasta ksatria berkewajiban menjalankan pemerintahan, termasuk pertahanan negara. Kasta ini terdiri dari kaum bangsawan dan para prajuritnya. Kasta waisya bertugas untuk bertani, berdagang, dan berternak. Kasta sudra merupakan para pekerja kasar atau budak. Candala adalah kasta terendah dalam kelas sosial masyarakat tersebut. Orang yang masuk kasta candala biasanya adalah seorang gelandangan tanpa kejelasan kasta. Dalam tata kota pemukiman kasta candala umumnya ditempatkan di pinggiran kota. Kutipan dari novel tersebut yang menggambarkan kehidupan sosial masyarakat pada masa itu, antara lain:

“Aku hanya menjalankan peran seorang pengemis, seperti pernah kulakukan ketika meleburkan diri dalam kehidupan sehari-hari, dan itulah saat kuhayati kehidupan seorang candala yang hina dina. Orang-orang menghindar untuk memandangiku, setiap kali memandang kubaca tatapan penghinaan, anak-anak meludahiku, dan ibu-ibu tua bersikap mulia tidak lebih karena rasa kasihan.” (hal 24-25)

“Namun yang menarik perhatianku adalah kediaman para candala dan kaum viparita-drsti yang disebut aliran sesat, yang ditempatkan di pinggiran wilayah pembakaran mayat. Dari jauh terlihat anak-anak kecil berlarian di antara rumah-rumah gubuk yang usang. Beberapa anak bahkan saling bersilat. Hmm. Apakah yang membuat seseorang menjadi brahmacari dan candala?” (hal 51) 

Selain itu, diceritakan juga bahwa cara berpakaian dan jenis busana tertentu menunjukkan martabat seseorang. Orang yang memiliki kedudukan tinggi mempunyai hak untuk mengenakan kain dengan pola tertentu, perhiasan dan mempunyai tempat sirih untuk menunjukkan martabatnya. Hak memasang payung putih atau payung kuning di depan rumah juga ditentukan berdasarkan kedudukan penggunanya di antara orang banyak. Saat seorang pejabat tinggi lewat, rakyat jelata wajib untuk berlutut dan menempelkan kening ke tanah. Kutipan dalam novel yang menggambarkan hal tersebut, yaitu:

“Namun di antara mereka, terdapat juga yang berbusana lebih mewah dan tampak lebih kaya, atau mempunyai kedudukan tinggi, sehingga berhak mengenakan jenis busana tertentu untuk menunjukkan martabatnya tersebut, seperti kain berpola patah, ajon berpola belalang, berpola kembang, warna kuning,  bunga teratai, berpola biji, kain awali, dulang pangdarahan, dodot dengan motif bunga teratai hijau, sadangan warna kunyit, kain nawagraha, kain pasilih galuh-bahkan ada juga yang ditandu, dengan iringan ulun atau budak belian dan hamba sahaya, berpayung kutlimo maupun payung lain yang bertingkat.” (hal 63)

“Aku teringat, hak untuk mengenakan kain yang bergambar emas bahkan tertulis dalam sebuah prasasti, seperti juga dengan hak memiliki perangkat makan sirih. Para pejabat tinggi akan tertandai bukan saja dari payung yang mengiringinya, tetapi juga dari perhiasan gelang, sisir, dan ikat pinggang emas dengan perhiasan intan. Hak memasang payung putih atau payung kuning di depan rumah juga ditentukan berdasarkan kedudukan penggunanya di antara orang banyak.” (hal 63-64)

Dalam novel tersebut juga terdapat permasalahan sosial yang paling menonjol, yaitu adanya pembangunan candi  Mahayana (Kamulan Bhumisambara) yang membuat tanah warga sekitar harus dikosongkan dan merelakan tanahnya diambil untuk mendirikan candi tersebut. Rakyat memberikan tanah yang sudah digarap secara turun temurun demi pembangunan  candi, sementara janji ganti rugi tidak kunjung dipenuhi. Tetapi rakyat masih dipaksa bekerja tanpa bayaran karena candi raksasa itu pembangunannya membutuhkan puluhan ribu tenaga. Selain itu, anak-anak mereka yang bekerja di candi, diambil untuk bekerja pada pejabat tinggi kerajaan maupun istana penguasa. Kutipan yang menunjukkan permasalahan sosial yang ditampilkan dalam novel tersebut:

“Melihat kepentingannya, yakni demi keluarga raja, sebenarnya adalah rakyat yang dianggap memberikan hadiah tanah kepada raja. .... Namun pembebasan tanah juga bukanlah sekedar pemberian hadiah dari rakyat, melainkan juga pengorbanan, karena tanah ini sangat mungkin sudah menjadi sawah kanayakan, sawah wikenas atau sawah para petugas, maupun ladang para kawula. Disebutkan bahwa mereka menerima hadiah yang berbeda-beda. Artinya bisa juga ada yang mendapatkan ganti tanah dan ada yang tidak. Sehingga menimbulkan masalah puluhan tahun kemudian.” (hal 43)

“Telah kami berikan tanah yang sudah kami garap secara turun temurun demi pembangunan Kamulan Bhumisambhara, telah kami abaikan janji ganti rugu yang tak juga kunjung dipenuhi, tetapi masih mereka paksa kami bekerja tanpa bayaran karena candi raksasa itu pembangunannya membutuhkan puluhan ribu tenaga. Kami akui candi ini akan menjadi candi termegah dan sangat indah di tengah semesta, tetapi apakah artinya mengajarkan kebajikan melalui candi yang dibangun oleh orang-orang yang terpaksa karena keluarganya disandera?” (hal 95)

“Setelah tanah kami diambil, putra-putri kami menjadi ulun di pura para pejabat tinggi kerajaan maupun istana penguasa.” (hal 95-96)
“Ternyata bukan tanah mereka desa mereka saja yang ingin dikuasai oleh istana, tetapi juga tanah desa-desa lain, karena agaknya sedang berlangsung persaingan dalam kepemilikan tanah, agar di atas tanah itu bisa didirikan candi, baik dari kelompok Siva maupun Mahayana. Penduduk desa tidak terpengaruh untuk memilih salah satu dari kedua agama besar yang menguasai istana, karena kepercayaan yang mereka warisi dari nenek moyang sudah memuaskan kebutuhan beragama mereka, yakni bahwa sesuatu yang luar biasa memang menguasai kehidupan mereka.” (hal 262)

Sedangkan, kehidupan politik masyarakat pada masa itu, yaitu timbulnya banyak pertentangan di antara para petingginya. Pertama, adanya pertentangan di antara para raja Mataram di Yavabhumi (Jawa) memang hampir selalu ruwet, karena di dalam setiap pihak yang bertentangan masih terdapat berbagai pihak yang bertentangan lagi dengan alasan masing-masing. Kedua, Perebutan kekuasaan antara Pramodawardhani (putri raja) dan Balaputradewa (saudara muda raja) menimbulkan perpecahan di antara rakyatnya. Persaingan kekuasaan yang terjadi selalu memanfaatkan perbedaan agama yang ada untuk menimbukan perpecahan. Selain itu, hukum-hukum negara diatur dalam kitab Arthasastra, yang terkadang dalam peraturannya, hanya memihak kepada penguasa saja. Adanya ideologi dalam masyarakat bahwa nyawa rakyat adalah milik raja sepenuhnya. Sehingga, raja berhak melakukan apapun dan rakyat wajib patuh. Kutipan mengenai kehidupan politik pada masa itu, yaitu:

“Ketika aku meninggalkan dunia persilatan dan meleburkan diri dalam dunia ramai selama 25 tahun, sedang berlangsung pergolakan di Yavabhumipala yang juga dikenal sebagai Javadvipa, yang membuat saudara muda raja Samarattungga, Balaputradewa, menyingkir ke Samudradvipa yang lebih dikenal sebagai Suvarnadvipa atau Suvarnabhumi dan akhirnya menjadi salah satu raja di Kadatuan Srivijaya. Sampai aku meninggalkan dunia ramai dan menghilang ke dalam hutan, Yavabhumi sebelah timur dikuasai Jatiningrat, menantu Samarattungga yang kemudian akan disebut Rakai Pikatan. Aku tidak terlalu yakin apa yang sebenarnya telah terjadi, apakah mereka bersengketa karena masalah perkawinan, bahwa Jatiningrat yang memeluk Siva menikahi putri Samarattungga yang beragama Buddha, dan apakah perbedaan agama itu menjadi perkara sengketa.” (hal 20)

Seluruhnya terdapat 25 pasal dalam Arthasastra mengenai perbudakan itu, dan terbaca bahwa hanya dengan termasuk sebagai golongan Arya, maka seseorang boleh dianggap merdeka-sedangkan jika tidak, seseorang sejak lahirnya telah tertakdirkan oleh segala macam peraturan yang dibuat manusia untuk mengamankan kedudukan golongan yang berkuasa.” (hal 97)

“Mereka yang terlibat dalam kepentingan untuk berkuasa dengan begitu berusaha menyesuaikan diri dan memanfaatkan paham kekuasaan yang datang bersama para pendatang dari Jambhudvipa, sedapat-dapatnya. Maka susunan masyarakat yang terdapat di Yavabhumi menjadi serba bertumpang tindih, dan yang tidak dapat dikatakan adil adalah terdapatnya golongan masyarakat yang harus dikorbankan-yakni yang ditempatkan di bawah, diperbudak, dan dikuasai. Mereka yang rela akan menjadi golongan bawah, dari sudra sampai paria. Mereka yang melawan akan dianggap sebagai mithya-drsti atau vipatha, tetapi tepatnya viparita-drsti yang berarti sebaliknya dari yang benar atau aliran sesat, dan disebut candala.” (hal 97-98)

Kehidupan beragama pada masa itu adalah terdapat dua agama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat, yaitu agama Hindu dan Buddha. Namun, ada banyak aliran kepercayaan yang berkembang di antara berbagai aliran di dalam agama Hindu dan Buddha itu sendiri. Dalam setiap agama, terdapat pengikut yang penafsiran terhadap ajaran agamanya itu berbeda, yang ternyata mendapatkan pula berbagai bentuk persetujuan dari pengikut lainnya. Ibarat aliran sungai, penafsiran terhadap suatu ajaran agama dapat bercabang, dan begitu pula cabang sungai tersebut, diakui maupun tidak diakui, dapat bercabang lagi. 

Namun, dalam novel tersebut digambarkan juga bahwa menurut masyarakat kedua agama itu tidak lebih sebagai kepercayaan yang bukan dari tanah mereka sendiri. Sehingga, saat raja meminta mereka untuk menganut agama tertentu dan mewajibkan mereka untuk melakukan upacara-upacara yang harus dilakukan dalam agama itu, mereka akan melakukannya. Selain itu, masyarakat menganggap bahwa perbedaan agama bukanlah suatu masalah. Sehingga, mereka tidak mempermasalahkan jika ada orang yang berpindah agama karena tertarik dengan agama atau aliran tertentu. Namun, bagi para penguasanya, agama dimanfaatkan sebagai penanda untuk membedakan golongannya sendiri dari golongan lainnya. Kutipan mengenai hal tersebut, yaitu:

“Aku menganggap perbedaan agama antara Balaputradewa yang memeluk Buddha Mahayana dan Jatiningrat sebagai pemeluk Siva seharusnya tidak menjadi masalah, karena bagi rakyat jelata kedua agama itu tidak lebih sebagai kepercayaan yang tidak berasal dari bumi mereka sendiri. Jika kemudian raja-raja mereka memeluk suatu agama, dan mewajibkan rakyatnya melakukan upacara-upacara keagamaan seperti yang diwajibkan oleh agama-agama itu, rakyat jelata yang cinta damai tidaklah berkeberatan melakukannya demi keselamatan dan ketenangan. Dalam kehidupan sehari-hari rakyat jelata, perbedaan agama bukanlah suatu masalah. Mereka tak masalahkan yang berpindah agama, karena memang tertarik dengan Siva ataupun Buddha yang memberi wawasan berbeda, bahkan dengan penuh kemahiran telah menyesuaikannya dengan berbagai macam kepercayaan yang berada di Yavabhumipala sendiri-tetapi bagi para pemimpin dunia awam, agama dimanfaatkan sebagai penanda untuk membedakan golongannya sendiri dari golongan lainnya. Bagiku, sengketa di antara para pemimpin hanyalah sengketa masalah kekuasaan. Agama hanyalah alasan untuk mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya. Hal semacam itu bagiku adalah kelicikan yang memuakkan.” (hal 21)

“Sejauh yang kuketahui selama hidupku, aliran kepercayaan apa pun yang muncul selalu bisa dikaitkan dengan agama Hindu atau Buddha, atau dua-duanya, tepatnya dengan Siva maupun Mahayanan. Dalam setiap agama terdapat pengikut yang penafsiran terhadapa ajaran agamanya itu berbeda, yang ternyata mendapatkan pula berbagai bentuk persetujuan dari pengikut lainnya. Ibarat aliran sungai, penafsiran terhadap suatu ajaran agama dapat bercabang, dan begitu pula cabang sungai tersebut, diakui maupun tidak diakui, dapat bercabang lagi.” (hal 49)

“Namun berbeda dengan aliran sungai, dalam budaya agama setiap percabangan mungkin saja masing-masingnya melebur sebagai aliran baru. Adapun aliran baru kadang mengandung unsur yang masih bisa dikenali dari agama dan aliran sumbernya, bahwa ada lebih dari satu agama dan seribu satu aliran yang diacunya; tetapi ada pula yang sudah tidak bisa dikenali lagi atas nama usaha memurnikannya.” (hal 49-50)

Novel Nagabumi I ini juga mengandung beberapa kritikan sosial. Kritikan-kritikan tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat Jawa pada abad VIII-IX, namun masih relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat pada masa kini. Beberapa kutipan mengenai kritikan sosial yang ditampilkan dalam novel ini, yaitu:

“Benarkah karena perbedaan agama? Aku selalu berpendapat perbedaan agama bukan alasan timbulnya perpecahan. Adalah persaingan kekuasaan, yang memanfaatkan segala perbedaan, termasuk agama, yang justru menghendaki perpecahan tersebut. Dengan terdapatnya perpecahan, suatu bangsa menjadi rapuh, dan mereka yang berkepentingan dengan keadaan ini akan mudah merebut kekuasaan.” (hal 43-44)

“Maka mengatasnamakan agama sebagai pembenaran atas perpecahan membuat darahku naik karena mencium kejahatan yang dilahirkan oleh kebodohan.” (hal 44)

“Meski hampir setiap prasasti menunjukkan kebijakan agar kedua agama dapat hidup bersama, di bawah permukaan berlangsung perseteruan diam-diam maupun terus terang. Hampir pasti, meski atas nama agama bukanlah demi kepentingan agama itu sendiri. Perseteruan antarmanusia hampir selalu merupakan perseteruan kepentingan kekuasaan. Tak harus kekuasaan atas wilayah, tetapi juga dan terutama kekuasaan atas makna kebenaran. Padahal, setiap orang selalu memberi makna kebenaran sesuai dengan kepentingannya sendiri.” (hal 401)

“Masih banyak perkara utang-piutang yang telah diatur secara hukum. Masalahnya, seberapa jauh hakim dalam peradilan dapat diandalkan? Memang benar hakim yang bijak dan berani karena benar selalu ada, tetapi sebagian besar lebih suka mempermainkan hukum demi kepentingan para penguasa, dan tentu saja demi keselamatannya sendiri.” (hal 267)

“Maka seorang raja yang ingin tetap berkuasa harus membeli kekuasaanya dengan banyak cara, antara lain dengan sedapat mungkin memenuhi keinginan rakyatnya itu, ... , misalnya dengan memenuhi kehendak rakyat yang menginginkan keseragaman agama. Itulah sebabnya ia turuti keinginan rakyat yang tidak senonoh itu, dengan menindas pemeluk agama yang lebih sedikit di wilayah kekuasaannya, meski pemeluk agama tersebut di luar wilayahnya jauh lebih besar.
Kedua, dan karena itu, ia harus membuat rakyatnya membutuhkan dirinya, membutuhkan kerajaannya, dan membutuhkan kekuasaannya. Bagaimana caranya agar rakyat membutuhkan perlindungannya? Seorang raja memikirkan cara yang paling menjamin kepentingannya untuk berkuasa: sebarkan ketakutan yang membuat rakyat membutuhkan perlindungan negara; jika rakyat memilih untuk pindah, maka ketakutan juga harus disebarkan di luar wilayah kekuasaannya, yakni di daerah tak bertuan...” (hal 425)

“Untuk membuat rakyat menyadari keberadaan negara, diperlukan suatu penyebaran ketakutan agar rakyat membutuhkan kehadiran para pengawal rahasia istana yang merupakan petugas negara. Dengan kata lain terdapat suatu permainan sandiwara yang membutuhkan korban, yakni mereka yang dikorbankan menjadi mayat terpotong-potong!” (hal 425)

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu bahwa biografi pengarang mempunyai pengaruh yang besar ke dalam karya-karyanya. Selain itu, Novel Nagabumi menggambarkan keadaan sosial masyarakat di pulau Jawa abad VIII – IX . Di mana dalam novel itu juga banyak ditampilkan situasi-situasi sosial, agama, dan politik yang masih memiliki relevansi dengan keadaan saat ini.

Gambaran sosial masyarakat yang tercermin dalam novel Nagabumi I, yaitu (a) masyarakat dibagi dalam kelas-kelas sosial atau kasta. Kasta-kasta tersebut adalah kasta brahmana, kasta ksatria, kasta waisya, kasta sudra, kasta paria, dan kasta candala. (b) Martabat seseorang ditunjukkan dengan cara berpakaian dan jenis busana tertentu. (c) Adanya persaingan kekuasaan di antara penguasa, bahkan terkadang di antara pihak yang bertentangan masih ada pihak lain yang bertentangan. (c) Terkadang perbedaan agama dijadikan alasan untuk menimbulkan perpecahan. (d) Adanya ideologi bahwa nyawa rakyat adalah milik raja, sehingga raja berhak untuk melakukan apa saja.

DAFTAR PUSTAKA

Fitri Haryani, Roberta. 2004. Sistem  Nilai Budaya Jawa dalam Novel Jalan Menikung Karya Umar Kayam : Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMU. Yogyakarta : USD.

Hardjana, Andre. 1985. Kritik Sastra : Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia.

Santoso, Tri. 2011. Novel Jalan Bandungan Karya Nh. Dini Kajian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: USD.

Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.


No comments:

Post a Comment

Untuk pemesanan desain dan layout bisa kontak kami langsung,

wa : +62 857-9949-4794
email: vaniojankjank@gmail.com
line: sf.studio