PENGEMBANGAN KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN BAHASA ASING: PERTEMUAN ANTARA KEPUTUSAN POLITIK DAN KEPUTUSAN PROFESIONAL
Oleh :
Natalia Sulistyanti Harsanti.S.Pd.,
NIM : 151232004
Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2015
Natalia Sulistyanti Harsanti.S.Pd.,
NIM : 151232004
Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2015
Abstrak
Jurnal ini berisi mengenai pengembangan kurikulum dalam pendidikan bahasa asing. Dalam pembuatan kurikulum ini, terkadang berbenturan antara kepentingan politik dan kebijakan pendidikan itu sendiri. Selain itu, pembuatan kebijakan terkait pendidikan lebih banyak didasari oleh kepentingan politik saja. Salah satunya adalah yang terjadi di Hungaria. Dalam hal ini, perubahan kurikulum umumnya didasari oleh perubahan ideologi pemimpin negara pada saat itu.
Kata kunci: pengembangan kurikulum, pendidikan bahasa asing, Hungaria, kebijakan politik, kebijakan pendidikan.
Kata kunci: pengembangan kurikulum, pendidikan bahasa asing, Hungaria, kebijakan politik, kebijakan pendidikan.
Abstract
This journal contains about curriculum development in foreign language education. In the making of this curriculum, sometimes a clash between political interests and policies of education itself. In addition, the relevant policy-making education more based on political interests alone. One of them is what happened in Hungary. In this case, changes to the curriculum are generally based on the change in the ideology of the country's leaders at the time.
Keywords: curriculum development, foreign language education, Hungarian, policy, education policy.
Keywords: curriculum development, foreign language education, Hungarian, policy, education policy.
Keywords: curriculum development, foreign language education, Hungarian, policy, education policy.
Pendahuluan
Dalam sistem pendidikan, kurikulum memiliki peran yang sangat penting. Melalui kurikulum, kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan dapat lebih terarah dan memiliki tujuan yang jelas. pembuatan kurikulum seharusnya berlandaskan pada aspek filosofis, sosial, psikologi, dan historis. Keempat aspek ini seharusnya menjadi acuan dasar dalam proses pembuatan kurikulum, sehingga kurikulum yang dibuat tidak hanya kurikulum yang sifatnya asal-asalan saja.
Perkembangan yang muncul saat ini adalah seringkali proses pembuatan kurikulum banyak dipengaruhi oleh muatan politik. Hal ini seperti yang terjadi di Hungaria. Dalam jurnal ini akan dibahas mengenai pengembangan kurikulum dan praktik penerapan kurikulum yang ada di Hungaria.
Perkembangan yang muncul saat ini adalah seringkali proses pembuatan kurikulum banyak dipengaruhi oleh muatan politik. Hal ini seperti yang terjadi di Hungaria. Dalam jurnal ini akan dibahas mengenai pengembangan kurikulum dan praktik penerapan kurikulum yang ada di Hungaria.
Pembahasan
Aspek-aspek umum dari pengembangan kurikulum dan inovasi digunakan untuk menetapkan dan menentukan kurikulum dalam kaitannya dengan konsep, silabus, dan mengkaji hubungan antara aspek teoretis dan praktis dari pengembangan kurikulum. Melihat kebutuhan yang semakin mendesak, kontradiksi ini menjadi semakin parah dalam beberapa tahun terakhir, sehingga menimbulkan berbagai macam gesekan antara desainer kurikulum, guru, dan pembuat kebijakan. Padahal, dalam kondisi seperti itu, keberhasilan inovasi seharusnya dipastikan dalam kurikulum. Hal ini membutuhkan upaya bersama semua peserta yang berkaitan dengan pendidikan. Akan tetapi, inovasi kurikulum di Hungaria dipengaruhi oleh perubahan politik, ekonomi, dan sosial selama beberapa dekade terakhir di abad kedua puluh. Melalui analisis NCC, keputusan dibuat dalam kurikulum dan pengembangan silabus bahasa asing.
Apakah Kurikulum Itu?
Masalah yang berkaitan dengan kurikulum telah menarik bagi filsuf dan pendidik sejak zaman Plato, tetapi studi formal baru benar-benar dimulai pada abad kedua puluh. Namun, seperti dalam banyak kasus disiplin ilmu baru lainnya, tidak ada konsensus atas makna dan ruang lingkup kurikulum. Selain itu, banyak definisi yang bervariasi sesuai dengan akademik dan lokasi geografis.
Kurikulum merujuk pada proses pendidikan secara keseluruhan, termasuk desain, implementasi, dan evaluasi program bahasa (Richards, 2001). Dalam arti luas ini, kurikulum juga terdiri dari metode dan pendekatan, langkah-langkah evaluasi, bahan ajar dan peralatan, bahkan pendidikan guru (Stern, 1983). Berbeda dengan kurikulum, silabus merupakan dokumen yang lebih terbatas yang mengacu pada isi, seperti sejarah, fisika, atau bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau asing (Dubin dan Olshtain, 1986; Yalden, 1987).
Studi kurikulum merupakan istilah umum yang mencakup isu-isu baik teoritis dan praktis. Pada kenyataannya, peneliti pendidikan lebih memberikan perhatian pada beasiswa akademik, isu-isu praktis, atau urusan sekolah dan mekanisme inovasi kurikulum (Jackson, 1992). Dalam hal ini, Pratt dan Shorts mengeluh bahwa "meskipun pengetahuan tentang kurikulum (studi) telah muncul, dampaknya pada praktek sekolah sebenarnya sangat minimal" (1994: 1325). Hasil ini bukan karena kurangnya paradigma teoritis yang secara eksplisit dirumuskan (Johnson, 1989), melainkan juga karena adopsi model top-down dalam pengembangan kurikulum. Menurut model ini, pekerjaan ahli teori adalah untuk mengartikulasikan kriteria penilaian yang valid dan terpercaya yang didefinisikan dengan baik dalam tujuan umum pendidikan, tujuan perilaku, dan desain spesifikasi konten yang rinci, sedangkan praktisi diturunkan pada pelaksanaan tugas.
Tidak setuju dengan hal ini, Stenhouse (1975) berpendapat bahwa hal itu memaksa guru untuk mengadopsi kurikulum. Hal ini dapat diselesaikan hanya dengan memberikan guru kesempatan untuk mengembangkan keterampilan profesional dan sikap kritis melalui keterlibatan terus menerus dalam penelitian dan pengembangan kurikulum. Hal ini sejalan dengan argumen Stenhouse mengenai guru reflektif (Schon, 1983) dan guru peneliti (Freeman, 1998) dalam literatur pendidikan. Graves juga berpendapat bahwa guru dan peserta didik memiliki peran sentral dalam proses pendidikan (2008: 152).
Apakah Inovasi Kurikulum Itu?
Kunci dari pengertian inovasi adalah mengubah dengan melibatkan campur tangan manusia dan bertujuan untuk mewujudkan perbaikan (White, 1993). Dalam hal ini, jelas yang dimaksud adalah inovasi dalam pendidikan, meskipun para sosiolog beranggapan bahwa pendidikan pada dasarnya melayani fungsi reproduksi sosial dan budaya dan karena itu konservatif dan resisten terhadap perubahan.
Sampai pada tahun 1970-an, inovasi pendidikan dan kurikulum saling mengikuti dengan kecepatan yang tetap. Selain itu, sebagian besar perubahan itu terbatas pada modifikasi-modifikasi kecil. Dalam beberapa dekade terakhir abad ini, laju inovasi kurikulum dipercepat dan ruang lingkup diperlebar untuk menanggapi tuntutan dunia yang cepat berubah. Langkah-langkah mendasar diambil untuk menginovasi dan memusatkan kurikulum, bahkan di negara-negara seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia yang sebelumnya hanya sedikit berminat dalam isu-isu kurikulum (Skilbeck, 1994). Inovasi kurikulum melibatkan beberapa jenis peserta yang memiliki peran berbeda. Lima jenis peserta itu, antara lain sebagai berikut.
Apakah Kurikulum Itu?
Masalah yang berkaitan dengan kurikulum telah menarik bagi filsuf dan pendidik sejak zaman Plato, tetapi studi formal baru benar-benar dimulai pada abad kedua puluh. Namun, seperti dalam banyak kasus disiplin ilmu baru lainnya, tidak ada konsensus atas makna dan ruang lingkup kurikulum. Selain itu, banyak definisi yang bervariasi sesuai dengan akademik dan lokasi geografis.
Kurikulum merujuk pada proses pendidikan secara keseluruhan, termasuk desain, implementasi, dan evaluasi program bahasa (Richards, 2001). Dalam arti luas ini, kurikulum juga terdiri dari metode dan pendekatan, langkah-langkah evaluasi, bahan ajar dan peralatan, bahkan pendidikan guru (Stern, 1983). Berbeda dengan kurikulum, silabus merupakan dokumen yang lebih terbatas yang mengacu pada isi, seperti sejarah, fisika, atau bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau asing (Dubin dan Olshtain, 1986; Yalden, 1987).
Studi kurikulum merupakan istilah umum yang mencakup isu-isu baik teoritis dan praktis. Pada kenyataannya, peneliti pendidikan lebih memberikan perhatian pada beasiswa akademik, isu-isu praktis, atau urusan sekolah dan mekanisme inovasi kurikulum (Jackson, 1992). Dalam hal ini, Pratt dan Shorts mengeluh bahwa "meskipun pengetahuan tentang kurikulum (studi) telah muncul, dampaknya pada praktek sekolah sebenarnya sangat minimal" (1994: 1325). Hasil ini bukan karena kurangnya paradigma teoritis yang secara eksplisit dirumuskan (Johnson, 1989), melainkan juga karena adopsi model top-down dalam pengembangan kurikulum. Menurut model ini, pekerjaan ahli teori adalah untuk mengartikulasikan kriteria penilaian yang valid dan terpercaya yang didefinisikan dengan baik dalam tujuan umum pendidikan, tujuan perilaku, dan desain spesifikasi konten yang rinci, sedangkan praktisi diturunkan pada pelaksanaan tugas.
Tidak setuju dengan hal ini, Stenhouse (1975) berpendapat bahwa hal itu memaksa guru untuk mengadopsi kurikulum. Hal ini dapat diselesaikan hanya dengan memberikan guru kesempatan untuk mengembangkan keterampilan profesional dan sikap kritis melalui keterlibatan terus menerus dalam penelitian dan pengembangan kurikulum. Hal ini sejalan dengan argumen Stenhouse mengenai guru reflektif (Schon, 1983) dan guru peneliti (Freeman, 1998) dalam literatur pendidikan. Graves juga berpendapat bahwa guru dan peserta didik memiliki peran sentral dalam proses pendidikan (2008: 152).
Apakah Inovasi Kurikulum Itu?
Kunci dari pengertian inovasi adalah mengubah dengan melibatkan campur tangan manusia dan bertujuan untuk mewujudkan perbaikan (White, 1993). Dalam hal ini, jelas yang dimaksud adalah inovasi dalam pendidikan, meskipun para sosiolog beranggapan bahwa pendidikan pada dasarnya melayani fungsi reproduksi sosial dan budaya dan karena itu konservatif dan resisten terhadap perubahan.
Sampai pada tahun 1970-an, inovasi pendidikan dan kurikulum saling mengikuti dengan kecepatan yang tetap. Selain itu, sebagian besar perubahan itu terbatas pada modifikasi-modifikasi kecil. Dalam beberapa dekade terakhir abad ini, laju inovasi kurikulum dipercepat dan ruang lingkup diperlebar untuk menanggapi tuntutan dunia yang cepat berubah. Langkah-langkah mendasar diambil untuk menginovasi dan memusatkan kurikulum, bahkan di negara-negara seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia yang sebelumnya hanya sedikit berminat dalam isu-isu kurikulum (Skilbeck, 1994). Inovasi kurikulum melibatkan beberapa jenis peserta yang memiliki peran berbeda. Lima jenis peserta itu, antara lain sebagai berikut.
- Para pembuat kebijakan bertugas mengambil keputusan besar (politisi, pejabat kementrian, dekan, dan kepala departemen).
- Spesialis pendidikan bertugas menyediakan sumber daya yang diperlukan (desainer kurikulum dan silabus, penulis bahan, ahli metodologi, pelatih guru).
- Guru bertugas untuk memberikan layanan pendidikan.
- Siswa bertugas untuk menerima layanan pendidikan.
- Mediator bertugas untuk memediasi hubungan antarpeserta (instansi pemerintah, seperti seperti British Council, Badan Informasi Amerika Serikat, dan Goethe Institute, atau organisasi nonpemerintah, seperti Soros Foundation).
Kebijakan yang Kontra
Secara teori, setiap peserta dapat melakukan sebuah tindakan. Akan tetapi, pada praktiknya, guru jarang dapat membuat suara mereka terdengar di luar ruang kelas atau sekolah mereka. Spesialis, terutama desainer kurikulum dan silabus, biasanya memiliki posisi yang lebih baik untuk mempengaruhi pembuat kebijakan (Kaplan, 1992). Namun, pembuat kebijakan seringkali membuat kebijakan tanpa adanya protes di antara peserta pendidikan lainnya. Selain itu, pembuatan kebijakan ini seringkali didasari sebagai pengakuan atas tanggung jawab mereka.
Spesialis pendidikan berpendapat bahwa keputusan kebijakan mungkin dapat bermanfaat, bahkan ketika itu bertentangan dengan kebijakan pendidikan atau penelitian saat ini (Judd, 1992). Setelah keputusan dibuat, spesialis pendidikan memiliki tugas profesional dan moral untuk menyatakan pandangan mereka mengenai kelayakan, biaya, dan aspek lain dari pelaksanaan. Dalam hal ini, pembuat kebijakan cenderung tidak meminta nasihat dari ahli pendidikan.
Dipengaruhi oleh kendala ekonomi, keuangan, dan sosial, inovasi dalam pendidikan yang sedang diperkenalkan dianggap terlalu lambat. Dalam hal ini, Pratt dan Short berpendapat "kurikulum tidak berhasil dikembangkan dan dipasang sampai politik memiliki tekanan yang cukup kuat untuk mengatasi kekuatan tradisi, inersia, dan kepentingan yang bekerja melawan perubahan di lembaga pendidikan" (1994: 1320). Selain itu, muncul ketidakpuasan mengenai kualitas pendidikan yang disampaikan oleh para pembuat kebijakan:
Kurikulum seharusnya tidak lagi dianggap sebagai "taman rahasia" para profesional pendidikan .... Isi sekolah dan metode mengajar yang dianggap penting seharusnya tidak dibiarkan begitu saja ada di tangan guru, tetapi dibawa sejalan dengan tujuan keseluruhan masyarakat (Skilbeck 1994: 1339, 1341).
Kondisi untuk Sukses
Pengembangan kurikulum merupakan kegiatan yang kompleks dan produk-produknya biasanya memiliki peluang tipis untuk jangka waktu yang panjang. Adam dan Chen memperkirakan bahwa 75% dari semua inovasi gagal untuk melihat sampai ke akar pendidikan (1981, dikutip dalam Markee, 1997). Namun, jika langkah-langkah awal tertentu diambil sebelum merancang kurikulum, kemungkinan keberhasilan dapat ditingkatkan.
Isu pertama yang harus diajukan adalah apakah inovasi diperlukan, tepat waktu, dan layak. Kelanjutan program dapat gagal apabila kurangnya pengenalan informasi, program itu prematur, atau memiliki sedikit dukungan keuangan dan sumber daya manusia. Isu kedua adalah bahwa inovasi seringkali didesak oleh agen dengan kepentingan pribadi dalam realisasinya. Secara umum, evolusi adalah tujuan yang jauh lebih diinginkan daripada revolusi dalam pengembangan kurikulum (Johnson, 1989; Stenhouse, 1975). Isu ketiga adalah bahwa desain kurikulum harus dilakukan dengan kekakuan metodologis (Markee, 1977). Berkaitan dengan hal ini, akhirnya ide inovatif hanya terikat pada sistem yang lama. Oleh karena itu, harus dilakukan upaya untuk meyakinkan peserta pendidikan bahwa kurikulum yang baru dapat memberikan manfaat (Kaplan, 1992; Kaplan dan Baldauf, 2007).
Setelah keputusan untuk membuat inovasi kurikulum dibuat, tim spesialis mulai bekerja. Spesialis yang berpengalaman menyadari bahwa pengembangan kurikulum, seperti kebanyakan usaha manusia, adalah bisnis yang berantakan, penuh dengan ketidaksesuaian, ketidakpastian, dan redudansi. Hal ini tidak bisa diharapkan untuk bekerja hanya dengan legislatif, keputusan, kertas putih, dan dikeluarkannya arahan terpusat (Skilbeck, 1994). Ini menjadi kasus, setiap peserta yang terlibat dalam usaha harus siap untuk berkomunikasi terus menerus dengan setiap agen lainnya. Hanya berkat kerjasama erat dan saling tanggap dapat masalah diidentifikasi, menghalangi, dan diperbaiki.
Hungaria: Studi Kasus
Untuk menggambarkan mengenai proses pengembangan kurikulum dan sifat inovasi kurikulum, dalam bab ini akan disajikan mengenai sebuah studi kasus. Negara yang dipilih sebagai contoh adalah Hungaria. Setelah membahas bagaimana perubahan politik telah mempengaruhi kebijakan pendidikan dalam beberapa dekade terakhir, pada bagian ini akan dibahas interkasi dalam pengembangan kurikulum NCC dan silabus bahasa asing, serta dampak proses di kelas praktik.
Konteks Politik dan Pendidikan dalam Inovasi Kurikulum
Pada pertengahan tahun 1980-an, sistem komunis di Hungaria tidak akan meningkatkan pendidikan, kecuali seluruh struktur politik dan ekonomi mengalami perubahan. Munculnya UU Pendidikan 1985 dan Amandemen 1990 mulai menggerogoti sistem pendidikan komunis. Berkurangnya kontrol administratif dan politik dalam pendidikan, tindakan ini memberi otonomi lebih pada masing-masing sekolah, membatalkan kontrol preskriptif kurikulum, dan mengembalikan kedaulatan pedagogis guru, menawarkan pilihan bebas mengenai metodologi dan bahan ajar (Medgyes dan Miklosy, 2000, 2005).
Komunisme meledak pada tahun 1989. Pemilihan bebas pertama diselenggarakan pada tahun 1990. Pemilihan ini membawa pemerintahan konservatif berkuasa, yang, anehnya "dimaafkan" model pendidikan yang lebih terpusat daripada yang diadopsi oleh pendahulunya komunis reformisnya. Padahal pemerintah sosialis-liberal yang dibentuk pada tahun 1994 telah berkomitmen untuk meliberalisasi sistem pendidikan. Akan tetapi, empat tahun kemudian pendulum berayun kembali dengan menekan pemerintah konservatif lain.
Pemerintah koalisi sosialis-liberal kembali berkuasa pada tahun 2002 dan terpilih kembali pada tahun 2006. Akibatnya, sejumlah undang-undang yang telah dihapuskan oleh kaum konservatif kembali diberlakukan. Sebuah undang-undang baru mengenai pemeriksaan sekolah dihapuskan dan diganti dengan mengutamakan keterampilan praktis daripada belajar hafalan dan pengetahuan leksikal. Kebetulan, pergeseran ini keseimbangan diselaraskan dengan tren pendidikan umum dalam Uni Eropa.
Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang memiliki ideologi yang berbeda memberikan dampak perasaan tidak aman di kalangan guru dan tidak ada perubahan yang signifikan dalam praktik pengajaran mereka. Selain itu, dalam studi banding internasional, siswa Hungaria dikatakan sangat pada tahun 1970an dan 1980an. Sementara itu, pada akhir 1980an mulai mengalami penurunan secara bertahap dan tidak ada pemerintah atau politik yang terbukti mampu membalikkan penurunan ini. Dengan kata lain, sebenarnya pendidikan merespon adanya perubahan politik, sosial, dan ekonomi.
Kebijakan Pendidikan dan Kurikulum Inti Nasional (NCC)
Fluktuasi dalam politik Hungaria tercermin dalam inovasi kurikuler dan dapat ditelusuri melalui pengembangan Kurikulum Inti Nasional (NCC). Kebutuhan untuk merancang kurikulum baru diakui oleh pemerintah komunis yang terakhir. Kemudian, pada tahun 1990-an awal, beberapa versi diikuti satu sama lain secara berurutan sampai versi final yang mulai berlaku pada tahun 2007.
Para desainer kurikulum yang terlibat dalam mengembangkan NCC dipilih secara acak dan hak para pembuat kebijakan dibatasi pada tahap tertentu. Sesuai dengan etos konsensus demokrasi pos-komunis, para spesialis, termasuk desainer kurikulum lokal, bahan penulis, dan ahli pemeriksaan, juga diundang untuk mengomentari versi yang berbeda dari NCC ini. Selain itu, banyak sekolah, lembaga pedagogis, dan departemen universitas juga diundang untuk memberikan masukan, tetapi tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi dengan umpan balik ini. Akan tetapi, guru tidak diminta untuk mengungkapkan pandangan mereka tentang kurikulum ini, bahkan suara mereka hampir tidak dapat didengar di NCC.
Dari beberapa versi yang berbeda dari NCC (1990, 1993; Hungaria Departemen Pendidikan, 1995, 2003, 2007), kurikulum yang diterbitkan pada tahun 1995 dapat dianggap inovatif dalam beberapa hal. Salah satu contohnya, yaitu bidang studi tradisional diatur dalam domain budaya terpadu sebagai upaya untuk melonggarkan batas-batas subjek lintas kurikulum. Pendekatan ini berada di bawah kritik keras dengan alasan, di satu sisi, bahwa itu adalah asing bagi tradisi pendidikan Hungaria dan, di sisi lain, bahwa tidak ada guru yang tersedia untuk mengajar bidang konten terpadu tersebut. Meskipun kontroversi, domain budaya ini telah dipertahankan dalam versi berikutnya dari NCC juga.
Ide memperkenalkan domain budaya ini tidak dilakukan di luar batas-batas NCC dan reformasi pemeriksaan selanjutnya masih terstruktur pada persyaratan. Di daerah lain, meskipun NCC merupakan terobosan baru, penuh adanya kontradiksi yang dikombinasikan dengan protes dari spesialis yang berpandangan konservatif. Dihadapkan dengan kendala baik pragmatis dan ideologis, pemerintah konservatif kedua memutuskan untuk memperlambat proses memperkenalkan NCC dan secara bersamaan tunduk kepada revisi menyeluruh. Revisi ini terhenti sampai detik pengambilalihan koalisi sosialis-liberal pada tahun 2002.
Kontroversi lain menyangkut badan pendidikan lokal, khususnya sekolah, didesak untuk mengembangkan (atas dasar NCC) kurikulum lokal mereka sendiri. Hal ini dimaksudkan memberikan kesempatan pada sekolah untuk memenuhi kebutuhan lokal dan melibatkan guru dalam kegiatan profesional selain mengajar di kelas. Akibatnya, ratusan kurikulum lokal dirancang dan dilaksanakan di seluruh negeri. Namun, ketika pemerintah konservatif kedua berkuasa, diputuskan untuk menyisipkan bingkai kurikulum terpusat antara NCC dan kurikulum lokal. Dalam hal ini, kurikulum bingkai dianggap sebagai perangkat untuk membantu membebaskan sekolah dan guru dari beban kerja ekstra atau, sebaliknya, sebagai dalih untuk mengekang otonomi administratif dan profesional mereka. Tidak lama setelah koalisi sosialis-liberal kembali berkuasa pada tahun 2002, ide kurikulum bingkai hanya melempem.
Bahasa Asing dalam Kurikulum Inti Nasional (NCC)
Bahasa modern, yang merupakan salah satu dari domain budaya, dianggap sebagai hal utama dalam inovasi di NCC. Pertama, perubahan kurikuler paling spektakuler pada tahun 1989 yang mengakhiri monopoli Rusia dengan hasil bahwa studi bahasa asing lainnya menjadi akses pada skala besar (Enyedi dan Medgyes, 1998; Nikolov, 1999a). Kedua, aksesi dari Hongaria-Uni Eropa pada tahun 2004, yaitu meningkatkan kebutuhan untuk berbicara bahasa asing dan mengadopsi norma-norma Eropa. Semua dokumen yang berhubungan dengan pendidikan bahasa asing sejak tahun 1989 telah dirancang untuk menjadi "euroconform"; lebih khusus, mereka telah mengadopsi silabus fungsional-nosional dan telah menganjurkan prinsip humanistik dan komunikatif pendidikan. Sebuah tonggak dalam proses ini adalah integrasi tingkat kemahiran sebagaimana telah didefinisikan dalam Kerangka Acuan Eropa umum (Dewan Eropa, 2001) ke dalam inovasi ujian sekolah Hungaria, meninggalkan versi NCC.
Lima versi dari NCC yang dianalisis dalam kerangka pendidikan bahasa asing memiliki kesamaan dalam mengatasi masalah politik, linguistik, dan pedagogis yang sama. Akan tetapi, masing-masing memiliki titik-titik yang berbeda yang ditunjukkan dalam divergensi kebijakan bahasa. Yang paling penting, jika versi sebelumnya cenderung untuk memenuhi kebutuhan nasional, versi terbaru menekankan apakah Hungaria memiliki kesamaan dengan tren Eropa kontemporer. Untuk menggambarkan perbedaan-perbedaan ini, ada beberapa isu antara lain sebagai berikut.
Secara teori, setiap peserta dapat melakukan sebuah tindakan. Akan tetapi, pada praktiknya, guru jarang dapat membuat suara mereka terdengar di luar ruang kelas atau sekolah mereka. Spesialis, terutama desainer kurikulum dan silabus, biasanya memiliki posisi yang lebih baik untuk mempengaruhi pembuat kebijakan (Kaplan, 1992). Namun, pembuat kebijakan seringkali membuat kebijakan tanpa adanya protes di antara peserta pendidikan lainnya. Selain itu, pembuatan kebijakan ini seringkali didasari sebagai pengakuan atas tanggung jawab mereka.
Spesialis pendidikan berpendapat bahwa keputusan kebijakan mungkin dapat bermanfaat, bahkan ketika itu bertentangan dengan kebijakan pendidikan atau penelitian saat ini (Judd, 1992). Setelah keputusan dibuat, spesialis pendidikan memiliki tugas profesional dan moral untuk menyatakan pandangan mereka mengenai kelayakan, biaya, dan aspek lain dari pelaksanaan. Dalam hal ini, pembuat kebijakan cenderung tidak meminta nasihat dari ahli pendidikan.
Dipengaruhi oleh kendala ekonomi, keuangan, dan sosial, inovasi dalam pendidikan yang sedang diperkenalkan dianggap terlalu lambat. Dalam hal ini, Pratt dan Short berpendapat "kurikulum tidak berhasil dikembangkan dan dipasang sampai politik memiliki tekanan yang cukup kuat untuk mengatasi kekuatan tradisi, inersia, dan kepentingan yang bekerja melawan perubahan di lembaga pendidikan" (1994: 1320). Selain itu, muncul ketidakpuasan mengenai kualitas pendidikan yang disampaikan oleh para pembuat kebijakan:
Kurikulum seharusnya tidak lagi dianggap sebagai "taman rahasia" para profesional pendidikan .... Isi sekolah dan metode mengajar yang dianggap penting seharusnya tidak dibiarkan begitu saja ada di tangan guru, tetapi dibawa sejalan dengan tujuan keseluruhan masyarakat (Skilbeck 1994: 1339, 1341).
Kondisi untuk Sukses
Pengembangan kurikulum merupakan kegiatan yang kompleks dan produk-produknya biasanya memiliki peluang tipis untuk jangka waktu yang panjang. Adam dan Chen memperkirakan bahwa 75% dari semua inovasi gagal untuk melihat sampai ke akar pendidikan (1981, dikutip dalam Markee, 1997). Namun, jika langkah-langkah awal tertentu diambil sebelum merancang kurikulum, kemungkinan keberhasilan dapat ditingkatkan.
Isu pertama yang harus diajukan adalah apakah inovasi diperlukan, tepat waktu, dan layak. Kelanjutan program dapat gagal apabila kurangnya pengenalan informasi, program itu prematur, atau memiliki sedikit dukungan keuangan dan sumber daya manusia. Isu kedua adalah bahwa inovasi seringkali didesak oleh agen dengan kepentingan pribadi dalam realisasinya. Secara umum, evolusi adalah tujuan yang jauh lebih diinginkan daripada revolusi dalam pengembangan kurikulum (Johnson, 1989; Stenhouse, 1975). Isu ketiga adalah bahwa desain kurikulum harus dilakukan dengan kekakuan metodologis (Markee, 1977). Berkaitan dengan hal ini, akhirnya ide inovatif hanya terikat pada sistem yang lama. Oleh karena itu, harus dilakukan upaya untuk meyakinkan peserta pendidikan bahwa kurikulum yang baru dapat memberikan manfaat (Kaplan, 1992; Kaplan dan Baldauf, 2007).
Setelah keputusan untuk membuat inovasi kurikulum dibuat, tim spesialis mulai bekerja. Spesialis yang berpengalaman menyadari bahwa pengembangan kurikulum, seperti kebanyakan usaha manusia, adalah bisnis yang berantakan, penuh dengan ketidaksesuaian, ketidakpastian, dan redudansi. Hal ini tidak bisa diharapkan untuk bekerja hanya dengan legislatif, keputusan, kertas putih, dan dikeluarkannya arahan terpusat (Skilbeck, 1994). Ini menjadi kasus, setiap peserta yang terlibat dalam usaha harus siap untuk berkomunikasi terus menerus dengan setiap agen lainnya. Hanya berkat kerjasama erat dan saling tanggap dapat masalah diidentifikasi, menghalangi, dan diperbaiki.
Hungaria: Studi Kasus
Untuk menggambarkan mengenai proses pengembangan kurikulum dan sifat inovasi kurikulum, dalam bab ini akan disajikan mengenai sebuah studi kasus. Negara yang dipilih sebagai contoh adalah Hungaria. Setelah membahas bagaimana perubahan politik telah mempengaruhi kebijakan pendidikan dalam beberapa dekade terakhir, pada bagian ini akan dibahas interkasi dalam pengembangan kurikulum NCC dan silabus bahasa asing, serta dampak proses di kelas praktik.
Konteks Politik dan Pendidikan dalam Inovasi Kurikulum
Pada pertengahan tahun 1980-an, sistem komunis di Hungaria tidak akan meningkatkan pendidikan, kecuali seluruh struktur politik dan ekonomi mengalami perubahan. Munculnya UU Pendidikan 1985 dan Amandemen 1990 mulai menggerogoti sistem pendidikan komunis. Berkurangnya kontrol administratif dan politik dalam pendidikan, tindakan ini memberi otonomi lebih pada masing-masing sekolah, membatalkan kontrol preskriptif kurikulum, dan mengembalikan kedaulatan pedagogis guru, menawarkan pilihan bebas mengenai metodologi dan bahan ajar (Medgyes dan Miklosy, 2000, 2005).
Komunisme meledak pada tahun 1989. Pemilihan bebas pertama diselenggarakan pada tahun 1990. Pemilihan ini membawa pemerintahan konservatif berkuasa, yang, anehnya "dimaafkan" model pendidikan yang lebih terpusat daripada yang diadopsi oleh pendahulunya komunis reformisnya. Padahal pemerintah sosialis-liberal yang dibentuk pada tahun 1994 telah berkomitmen untuk meliberalisasi sistem pendidikan. Akan tetapi, empat tahun kemudian pendulum berayun kembali dengan menekan pemerintah konservatif lain.
Pemerintah koalisi sosialis-liberal kembali berkuasa pada tahun 2002 dan terpilih kembali pada tahun 2006. Akibatnya, sejumlah undang-undang yang telah dihapuskan oleh kaum konservatif kembali diberlakukan. Sebuah undang-undang baru mengenai pemeriksaan sekolah dihapuskan dan diganti dengan mengutamakan keterampilan praktis daripada belajar hafalan dan pengetahuan leksikal. Kebetulan, pergeseran ini keseimbangan diselaraskan dengan tren pendidikan umum dalam Uni Eropa.
Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang memiliki ideologi yang berbeda memberikan dampak perasaan tidak aman di kalangan guru dan tidak ada perubahan yang signifikan dalam praktik pengajaran mereka. Selain itu, dalam studi banding internasional, siswa Hungaria dikatakan sangat pada tahun 1970an dan 1980an. Sementara itu, pada akhir 1980an mulai mengalami penurunan secara bertahap dan tidak ada pemerintah atau politik yang terbukti mampu membalikkan penurunan ini. Dengan kata lain, sebenarnya pendidikan merespon adanya perubahan politik, sosial, dan ekonomi.
Kebijakan Pendidikan dan Kurikulum Inti Nasional (NCC)
Fluktuasi dalam politik Hungaria tercermin dalam inovasi kurikuler dan dapat ditelusuri melalui pengembangan Kurikulum Inti Nasional (NCC). Kebutuhan untuk merancang kurikulum baru diakui oleh pemerintah komunis yang terakhir. Kemudian, pada tahun 1990-an awal, beberapa versi diikuti satu sama lain secara berurutan sampai versi final yang mulai berlaku pada tahun 2007.
Para desainer kurikulum yang terlibat dalam mengembangkan NCC dipilih secara acak dan hak para pembuat kebijakan dibatasi pada tahap tertentu. Sesuai dengan etos konsensus demokrasi pos-komunis, para spesialis, termasuk desainer kurikulum lokal, bahan penulis, dan ahli pemeriksaan, juga diundang untuk mengomentari versi yang berbeda dari NCC ini. Selain itu, banyak sekolah, lembaga pedagogis, dan departemen universitas juga diundang untuk memberikan masukan, tetapi tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi dengan umpan balik ini. Akan tetapi, guru tidak diminta untuk mengungkapkan pandangan mereka tentang kurikulum ini, bahkan suara mereka hampir tidak dapat didengar di NCC.
Dari beberapa versi yang berbeda dari NCC (1990, 1993; Hungaria Departemen Pendidikan, 1995, 2003, 2007), kurikulum yang diterbitkan pada tahun 1995 dapat dianggap inovatif dalam beberapa hal. Salah satu contohnya, yaitu bidang studi tradisional diatur dalam domain budaya terpadu sebagai upaya untuk melonggarkan batas-batas subjek lintas kurikulum. Pendekatan ini berada di bawah kritik keras dengan alasan, di satu sisi, bahwa itu adalah asing bagi tradisi pendidikan Hungaria dan, di sisi lain, bahwa tidak ada guru yang tersedia untuk mengajar bidang konten terpadu tersebut. Meskipun kontroversi, domain budaya ini telah dipertahankan dalam versi berikutnya dari NCC juga.
Ide memperkenalkan domain budaya ini tidak dilakukan di luar batas-batas NCC dan reformasi pemeriksaan selanjutnya masih terstruktur pada persyaratan. Di daerah lain, meskipun NCC merupakan terobosan baru, penuh adanya kontradiksi yang dikombinasikan dengan protes dari spesialis yang berpandangan konservatif. Dihadapkan dengan kendala baik pragmatis dan ideologis, pemerintah konservatif kedua memutuskan untuk memperlambat proses memperkenalkan NCC dan secara bersamaan tunduk kepada revisi menyeluruh. Revisi ini terhenti sampai detik pengambilalihan koalisi sosialis-liberal pada tahun 2002.
Kontroversi lain menyangkut badan pendidikan lokal, khususnya sekolah, didesak untuk mengembangkan (atas dasar NCC) kurikulum lokal mereka sendiri. Hal ini dimaksudkan memberikan kesempatan pada sekolah untuk memenuhi kebutuhan lokal dan melibatkan guru dalam kegiatan profesional selain mengajar di kelas. Akibatnya, ratusan kurikulum lokal dirancang dan dilaksanakan di seluruh negeri. Namun, ketika pemerintah konservatif kedua berkuasa, diputuskan untuk menyisipkan bingkai kurikulum terpusat antara NCC dan kurikulum lokal. Dalam hal ini, kurikulum bingkai dianggap sebagai perangkat untuk membantu membebaskan sekolah dan guru dari beban kerja ekstra atau, sebaliknya, sebagai dalih untuk mengekang otonomi administratif dan profesional mereka. Tidak lama setelah koalisi sosialis-liberal kembali berkuasa pada tahun 2002, ide kurikulum bingkai hanya melempem.
Bahasa Asing dalam Kurikulum Inti Nasional (NCC)
Bahasa modern, yang merupakan salah satu dari domain budaya, dianggap sebagai hal utama dalam inovasi di NCC. Pertama, perubahan kurikuler paling spektakuler pada tahun 1989 yang mengakhiri monopoli Rusia dengan hasil bahwa studi bahasa asing lainnya menjadi akses pada skala besar (Enyedi dan Medgyes, 1998; Nikolov, 1999a). Kedua, aksesi dari Hongaria-Uni Eropa pada tahun 2004, yaitu meningkatkan kebutuhan untuk berbicara bahasa asing dan mengadopsi norma-norma Eropa. Semua dokumen yang berhubungan dengan pendidikan bahasa asing sejak tahun 1989 telah dirancang untuk menjadi "euroconform"; lebih khusus, mereka telah mengadopsi silabus fungsional-nosional dan telah menganjurkan prinsip humanistik dan komunikatif pendidikan. Sebuah tonggak dalam proses ini adalah integrasi tingkat kemahiran sebagaimana telah didefinisikan dalam Kerangka Acuan Eropa umum (Dewan Eropa, 2001) ke dalam inovasi ujian sekolah Hungaria, meninggalkan versi NCC.
Lima versi dari NCC yang dianalisis dalam kerangka pendidikan bahasa asing memiliki kesamaan dalam mengatasi masalah politik, linguistik, dan pedagogis yang sama. Akan tetapi, masing-masing memiliki titik-titik yang berbeda yang ditunjukkan dalam divergensi kebijakan bahasa. Yang paling penting, jika versi sebelumnya cenderung untuk memenuhi kebutuhan nasional, versi terbaru menekankan apakah Hungaria memiliki kesamaan dengan tren Eropa kontemporer. Untuk menggambarkan perbedaan-perbedaan ini, ada beberapa isu antara lain sebagai berikut.
- Bahasa asli versus bahasa asing. Versi 1 dan 2 menekankan isolasi Hungaria antara bahasa Indo-Eropa dan menguraikan peran studi bahasa asing dalam pengembangan bahasa asli peserta didik. Sementara itu, versi 1 secara eksplisit menyatakan bahwa pengajaran harus menjelaskan persamaan dan perbedaan antara yang pertama dan bahasa asing, prinsip kontrastif ini melunak menjadi "peningkatan kesadaran" dalam versi 2, hanya lebih didorong dalam versi 3 dan akhirnya memudar dan terlupakan dalam versi 4 dan 5. Perubahan ini didasari adanya pergeseran fokus baik dalam sikap linguistik dan agenda politik.
- Pilihan bahasa. Hal ini mengungkapkan bagaimana peran bahasa Latin dan bahasa Inggris dalam kaitannya dengan bahasa asing lainnya telah berubah dari waktu ke waktu. Dalam versi 1, hanya bahasa Inggris dan bahasa Jerman yang terdaftar dalam bahasa modern, sedangkan bahasa Latin hanya disebut secara tidak langsung. Versi 2 menghindari adanya pemilihan bahasa. Pada versi 3, bahasa Latin disebutkan sebagai bahasa asing kedua dalam pendahuluan. Akan tetapi, hanya ada pilihan bahasa untuk bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Jerman, dan bahasa Rusia. Dalam versi 4, kategori baru dibentuk. Dalam hal ini, bahasa modern asing (bahasa Inggris dan Jerman) sering diajarkan. Akan tetapi, bahasa asli kurang diajarkan. Selain itu, tidak seperti versi sebelumnya, kebebasan dalam menentukan pilihan bahasa dalam versi ini 4 benar-benar dilaksanakan, tanpa memberikan prioritas kepada bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Sementara itu, versi 5 mengalami perubahan besar. Dalam hal ini, semua sekolah menengah wajib menawarkan bahasa Inggris bagi siswa.
- Usia awal. Sebelum tahun 1989, siswa mulai belajar bahasa Rusia di kelas 4 (usia 9). Akan tetapi, ketika rezim menjadi lebih liberal, kesempatan untuk belajar bahasa asing lainnya ditingkatkan. Meskipun menuntut individu untuk memiliki kompetensi dalam bahasa asing, pada versi 1 atau versi 2 tidak ditentukan waktu pengajaran bahasa asing harus dimulai. Sementara itu, pada versi 3, usia awal wajib belajar bahasa asing ada di kelas 5 (usia 10). Pada versi 4 dan 5, pengajaran bahasa asing dimulai di kelas 4, bahkan kalau bisa dilakukan lebih awal.
- Tingkat kecakapan. Jika, pada versi sebelumnya secara bergantian diartikulasikan dua atau tiga tingkat kemampuan bahasa, target prestasi pada versi 4 dan 5 ditetapkan empat sampai enam tingkat kemampuan bahasa. Sebuah sistem dual diadopsi dalam versi ini yang menuntut siswa untuk dapat mengambil ujian sekolah baik di tingkat B1 atau B2. Versi 5 termasuk spesifikasi lebih lanjut. Dalam hal ini siswa yang berpartisipasi dalam program satu tahun pembelajaran bahasa intensif di kelas 9 diharapkan untuk duduk ujian di tingkat B2 pada akhir kelas 10 (Medgyes dan Miklosy, 2005).
Ruang Kelas Bahasa Asing
Sebuah studi observasi kelas yang melibatkan 118 kelas bahasa Inggris mencoba untuk melihat apa yang dilakukan guru dan siswa di dalam kelas (Nikolov, 1999b). Penelitian selanjutnya dalam skala besar mengenai kelas bahasa Inggris dan Jerman mengumpulkan sampel perwakilan dari peserta didik Hungaria (Nikolov, 2003). Kedua penelitian mengungkapkan bahwa guru bahasa umumnya mengadopsi pendekatan eklektik. Pendekatan ini menggunakan metode tata bahasa-terjemahan dan metode audio lingual. Tugas yang paling sering diberikan adalah menerjemahkan, membaca dengan suara keras, latihan menjawab pertanyaan, dan menjelaskan aturan tata bahasa.
Pada akhir abad kedua puluh, 65% dari guru bahasa modern di sekolah dasar Hungaria merupakan guru yang dilatih (Halasz dan Lannert, 1998). Lebih buruk lagi, 10% dari guru bahasa Inggris dan guru bahasa Jerman tidak memiliki kualifikasi mengajar apapun (Halasz dan Lannert, 2003). Melihat hasil temuan itu, tidak mengherankan jika dalam hal kemampuan berbahasa, Hongaria tertinggal jauh dari semua negara yang bergabung dalam Uni Eropa (Eropa dan Bahasa: A Eurobarometer Survey khusus, 2001).
Faktanya, hanya 19% dari populasi Hungaria yang mengaku setidaknya tahu satu bahasa asing dalam sensus nasional terakhir (2002). Namun demikian, tejadi peningkatan kemampuan berbahasa, seperti pada awal tahun 1990an meningkat menjadi 12% (Terestyeni, 1996) dan meningkat menjadi 29% pada tahun 2005 (Eropa dan Bahasa, 2005). Pertumbuhan kompetensi bahasa asing di Hungaria tampaknya disebabkan oleh perubahan positif dalam sikap dan motivasi peserta didik daripada kemajuan dalam desain kurikulum, metode pengajaran, atau kompetensi guru (Nikolov, 2003; Nikolov dan Jozsa, 2006). Menurut studi skala besar yang menyelidiki motivasi di delapan kelas, adanya upaya belajar dan pilihan bahasa peserta didik menunjukkan motivasi dan sikap terhadap bahasa pilihan mereka (Dornyei, Csizer dan Nemeth, 2006). Adapun mayoritas pilihan mereka adalah belajar bahasa Inggris dan Jerman.
Daftar Rujukan
Kaplan, Robert B. 2002. The Oxford Handbook of Applied Linguistics. NewYork:
Oxford University Press.
Sebuah studi observasi kelas yang melibatkan 118 kelas bahasa Inggris mencoba untuk melihat apa yang dilakukan guru dan siswa di dalam kelas (Nikolov, 1999b). Penelitian selanjutnya dalam skala besar mengenai kelas bahasa Inggris dan Jerman mengumpulkan sampel perwakilan dari peserta didik Hungaria (Nikolov, 2003). Kedua penelitian mengungkapkan bahwa guru bahasa umumnya mengadopsi pendekatan eklektik. Pendekatan ini menggunakan metode tata bahasa-terjemahan dan metode audio lingual. Tugas yang paling sering diberikan adalah menerjemahkan, membaca dengan suara keras, latihan menjawab pertanyaan, dan menjelaskan aturan tata bahasa.
Pada akhir abad kedua puluh, 65% dari guru bahasa modern di sekolah dasar Hungaria merupakan guru yang dilatih (Halasz dan Lannert, 1998). Lebih buruk lagi, 10% dari guru bahasa Inggris dan guru bahasa Jerman tidak memiliki kualifikasi mengajar apapun (Halasz dan Lannert, 2003). Melihat hasil temuan itu, tidak mengherankan jika dalam hal kemampuan berbahasa, Hongaria tertinggal jauh dari semua negara yang bergabung dalam Uni Eropa (Eropa dan Bahasa: A Eurobarometer Survey khusus, 2001).
Faktanya, hanya 19% dari populasi Hungaria yang mengaku setidaknya tahu satu bahasa asing dalam sensus nasional terakhir (2002). Namun demikian, tejadi peningkatan kemampuan berbahasa, seperti pada awal tahun 1990an meningkat menjadi 12% (Terestyeni, 1996) dan meningkat menjadi 29% pada tahun 2005 (Eropa dan Bahasa, 2005). Pertumbuhan kompetensi bahasa asing di Hungaria tampaknya disebabkan oleh perubahan positif dalam sikap dan motivasi peserta didik daripada kemajuan dalam desain kurikulum, metode pengajaran, atau kompetensi guru (Nikolov, 2003; Nikolov dan Jozsa, 2006). Menurut studi skala besar yang menyelidiki motivasi di delapan kelas, adanya upaya belajar dan pilihan bahasa peserta didik menunjukkan motivasi dan sikap terhadap bahasa pilihan mereka (Dornyei, Csizer dan Nemeth, 2006). Adapun mayoritas pilihan mereka adalah belajar bahasa Inggris dan Jerman.
Penutup
Dalam dunia pendidikan saat ini, pengaruh politik dalam pembuatan kebijakan yang terkait pendidikan dapat jelas terlihat. Salah satu contohnya adalah pembuatan kebijakan pendidikan di Hungaria. Hal ini tentu saja memberikan dampak bagi dunia pendidikan itu sendiri. Muatan politik dan kepentingan pembuat kebijakan lebih banyak berbenturan dengan kebijakan dalam dunia pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam rancangan pembuatan kebijakan, terutama kurikulum, harusnya berlandaskan pada aspek filosofis, sosial, psikologi, dan historis, yang seharusnya terlepas dari kepentingan politik beberapa pihak.Kaplan, Robert B. 2002. The Oxford Handbook of Applied Linguistics. NewYork:
Oxford University Press.
No comments:
Post a Comment
Untuk pemesanan desain dan layout bisa kontak kami langsung,
wa : +62 857-9949-4794
email: vaniojankjank@gmail.com
line: sf.studio