PRAGMATIK
A. Apa
itu pragmatik?
Pragmatik dapat
dimaknai sebagai “penggunaan bahasa”, bukan “bahasa sebagai sistem”. Jika kita
membandingkan istilah competence dan performance dari Chomsky, pragmatik
lebih mengarah kepada performance. Performance adalah tindakan berbahasa
seseorang yang memang didasarkan pada competence,
tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti ingatan, keadaan, dan
sebagainya. Sedangkan, competence
sendiri adalah perangkat aturan-aturan bahasa yang dimiliki seseorang sehingga
mampu membuat kalimat-kalimat.
Ilmu falsafah mengkaji
bahasa berdasarkan bentuk dan maknanya. Kalimat dihubungkan dengan makna yang
diungkapkan atau “proposisi” yang terdiri dari dua bagian utama, yaitu subjek
dan predikat. Dalam hal ini Charles Morris (1946) membagi pengkajian bahasa
menjadi tiga hal, yaitu:
- Sintaksis (kajian tentang hubungan antara unsur-unsur bahasa)
- Semantik (kajian hubungan unsur-unsur bahasa dengan maknanya)
- Pragmatik (kajian hubungan unsur-unsur bahasa dengan pemakai bahasa itu)
Pragmatik
telah dikenal sejak 1902 dalam ilmu falsafah (cf. Charles Peirce dan W. James)
sebagai suatu aliran atau pendekatan pengkajian “makna” dan “kebenaran” satuan
bahasa (kata/kalimat) yang didasarkan pada kenyataan praktis atau wujud sosial
dan material, adalah istilah yang dipakai Morris (yaitu yang menghubungkan bahasa dan pemakainya) yang menjadi sumber penggunaan istilah “pragmatik”
dewasa ini.
Istilah
pragmatik secara lebih luas lagi adalah aturan-aturan pemakaian bahasa, yaitu
pemilihan bentuk bahasa dan penentuan maknanya sehubungan dengan maksud
pembicara sesuai dengan konteks dan keadaan. Dengan demikian, pragmatik di sini
juga mencakup mengapa seseorang bisa mengatakan “trims” (terima kasih) kepada
teman sebaya, tetapi tidak bisa kepada guru atau orang tua.
B. Definisi
Pragmatik
Levinson (1983)
memberikan beberapa definisi pragmatik, antara lain:
(1) “Pragmatik
adalah kajian mengenai hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari
penjelasan pengertian bahasa”. Di sini “pengertian/pemahaman bahasa” menunjuk
kepada fakta bahwa untuk mengerti suatu ungkapan/ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan
di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yaitu hubungannya dengan
konteks pemakaiannya.
(2) “Pragmatik
adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat
dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat tersebut. Definisi ini
cocok dengan pandangan linguistik dan sosiolinguistik.
C. Sumber
Kajian Pragmatik
Pragmatik sebagai ilmu
juga bersumber pada beberapa ilmu lain yang mengkaji bahasa dan faktor-faktor
yang berkaitan dengan penggunaan bahasa, yaitu:
(1) Falsafah
kebahasaan, terutama mengenai teori tindak bahasa dan implikatur percakapan.
(2) Sosiolinguistik.
(3) Antropologi,
terutama mengenai konteks situasi dan faktor-faktor nonverbal dalam pemakaian
bahasa.
(4) Etnografi
berbahasa, terutama mengenai faktor-faktor sosiolinguistik dalam berkomunikasi.
(5) Linguistik,
terutama dengan analisis wacana dan teori deiksis atau rujukan. Dari linguistik
dan analisis wacana dibicarakan mengenai struktur percakapan/komunikasi dan
berbagai macam rujukan bentuk bahasa, khususnya rujukan berdasarkan pembicara,
waktu dan tempat berbahasa, wacana dan situasi sosial.
D. Ruang
Lingkup Pragmatik
Ada empat ruang lingkup
pragmatik, yaitu (1) deiksis, (2) praanggapan, (3) tindak ujaran, dan (4)
implikatur percakapan.
(1) Deiksis
Nadar (2009:54)
mengatakan sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya
berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada saat dan tempat
dituturkannya kata-kata itu.
Deiksis dibagi menjadi
empat macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, dan deiksis
wacana.
(2) Praanggapan
(3) Tindak
ujaran
Ada tiga macam tindak
ujaran, yaitu tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak perlokusi.
E. Praanggapan
(1) Pengertian
Istilah praanggapan
merupakan padanan dalam bahasa Indonesia dari istilah bahasa Inggris, yaitu
“presupposition”. Praanggapan adalah dasar atau penyimpulan dasar mengenai
konteks dan situasi berbahasa (=menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa
(=kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar/penerima bahasa itu,
dan sebaliknya membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa (= kalimat
dan sebagainya) yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang
dimaksud.
(2) Teori
Praanggapan Pragmatik
Ada banyak teori
praanggapan pragmatik yang diungkapkan oleh para ahli. Beberapa teori itu
antara lain:
a) Levinson:
“Suatu ungkapan A
berpraanggapan pragmatik suatu pernyataan B hanya jika A adalah wajar hanya
kalau B sama-sama diketahui oleh pemeran serta.”
b) Gazdar:
“Kalimat A
berpraanggapan pragmatik suatu pernyataan B hanya jika, bilamana A diungkapkan
secara sungguh-sungguh, pengungkapan A itu beranggapan B dan beranggapan bahwa
pendengarnya beranggapan B juga.”
c) Stalnaker:
“Suatu pernyataan B
adalah praanggapan pragmatik seorang pembicara dalam suatu konteks tertentu
hanya kalau pembicara itu beranggapan atau percaya bahwa B, (dan dia)
beranggapan atau percaya bahwa pendengarnya beranggapan atau percaya bahwa B,
dan dia beranggapan atau percaya bahwa pendengarnya mengetahui bahwa dia
mempunyai anggapan atau kepercayaan ini.”
(3) Contoh
praanggapan
a) “Menteri
Binaraga mengeluarkan larangan bagi wanita untuk menekuni olah raga itu”.
Kalimat itu mempunyai
makna bahwa memang ada Menteri Binaraga. Jika tidak ada, maka frase itu tidak
mempunyai rujukan (=tidak merujuk kepada seseorang) dan tidak mempunyai makna.
Jadi, agar kalimat (a) itu bermakna, pemakai bahasa itu (dalam hal ini terutama
pendengar) harus mempunyai anggapan atau pengiraan bahwa “ada Menteri Binaraga”.
Dalam kalimat di atas, praanggapan yang diperlukan juga mencakup bahwa “ada
wanita yang menekuni olah raga binaraga” dan bahwa “menekuni binaraga” merujuk
kepada suatu kegiatan yang dapat dilakukan oleh jenis makhluk seperti “wanita”.
Agar kalimat di atas dapat memenuhi sifat “benar” atau “tidak benar” haruslah
diterima anggapan bahwa “ada Menteri Binaraga”.
Jadi, dapat dikatakan
bahwa praanggapan merupakan adanya hal-hal atau orang yang dibicarakan dan
sifat atau kegiatan yang disebut adalah cocok atau mungkin dipunyai atau
dilakukan oleh orang atau hal yang dibicarakan itu.
b) “Wanita
Indonesia itu membeli burung itu”.
Dari kalimat tersebut
terdapat praanggapan:
b.1) “Ada seorang
wanita Indonesia”.
b.2) “Ada seekor
burung”.
Hanya jika kedua
praanggapan itu diterima, maka kalimat (b) itu mempunyai makna atau dapat
dimengerti oleh pendengar/pembaca. Cara lain untuk menjelaskan situasi ini
adalah dengan mengatakan bahwa kalimat (b) berpraanggapan hal-hal yang
terungkap dalam ungkapan (b.1) dan (b.2).
Daftar
Pustaka
Nababan.
1987. Pragmatik. Jakarta: Dirjen
Dikti.
Nadar,
FX. 2009. Pragmatik dan Penelitian
Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
No comments:
Post a Comment
Untuk pemesanan desain dan layout bisa kontak kami langsung,
wa : +62 857-9949-4794
email: vaniojankjank@gmail.com
line: sf.studio